Hening tiba-tiba pecah di
paruh malam. Lembut silir angin menguap, berganti lolong panjang mulut binatang.
Seekor mahluk jantan berjingkat, meniup gaduh ke tiap sudut mata angin. Suara
parau beraduk udara, tersembul keluar dari lubang kerongkongan. Bunyi nya terdengar sungguh kasar,
tajam dan gahar. Ranting-ranting tipis, lebat dedaunan, seolah dipaksa bergetar
karnanya. Lolong nan menghujam, kini
bukan lagi dendang rutin di larut nan pekat. Malam ini, jerit serigala seumpama
baris senandung perih yang digarami murka. Syahdan, dua hari telah lewat. Pengelanaan
menyusur lebatnya belukar, tiba sudah di ujung cemasnya pencarian. Derap kaki serigala
hutan, memungut jawab diantara rimbun ilalang. Di bibir jurang, seonggok tubuh
terkapar, menyebar pilu beraroma nestapa. Tubuh yang tercabik, terpisah dalam
potongan daging yang berserak. Sosok tergeletak tanpa nyawa, bersimbah darah, tiada
lain, dialah bangkai Sang Betina tercinta.
“Kesini kau, Anakku!”
Perintah memekik, serigala
cilik bergegas meninggalkan pohon jati. Berteman gerak yang kelewat hati-hati, ia
ayunkan langkah.
“Jangan sedetik pun kau palingkan
wajah. Lihatlah ini, dia Ibu mu!”
Keterkejutan seketika berarak,
gundah menyembur, membuncah liar. Bangkai ibunda yang terkoyak, meredupkan sejumput
nyali. Kesedihan pun tak kuasa lagi dibelenggu, serigala kecil segera berdiri
di depan gerbang isak tangis. Tajam bola matanya perlahan sirna, tertangkap mulai
mengembun.
“Jangan kau coba-coba meneteskan
airmata!”
“Ijinkan aku bersedih atas
kematian Ibu.”
Tuntas melafalkan ucapan,
moncong serigala kecil bergeser, mengendus-endus serpihan bangkai ibunya.
“Tidak, Anakku! Kau tak
akan pernah kuijinkan bersedih!”
Perintah sekalilagi meluncur,
terdengar menghentak, bagai menombak telinga. Serigala kecil sontak menoleh.
Dalam pelukan duka ia menatap raut muka sang ayah.
“Anakku, kita adalah bangsa
serigala. Bangsa serigala tak serupa kumpulan domba. Sejarah bangsa ini adalah buku
tebal tentang legenda pemangsa. Nenek moyangmu yang gilang-gemilang itu,
menulis selangit kejayaan dengan darah dan taring! Bukan bersama tetes airmata atau
beribu sedu-sedan! Anakku, camkan benar kata-kata Ayahmu ini: Bangsa pemburu, dimana
pun ia berada, tak akan sudi mengenal kosakata airmata! Kau mengerti?”
Serigala kecil tersihir. Kalimat
demi kalimat yang melesat dari bibir Ayahnya, terdengar laksana cambuk yang
menghajar duka. Dalam sekejap rasa sedih serasa memudar. Gundah dan pilu sirna,
melejit jauh ke tanah antah berantah. Sebagai gantinya, segunung amarah datang menggelegar.
Benih angkara murka mekar, bergolak di ladang dendam dan pembalasan.
“Siapa gerangan yang melakukan ini, Ayah?”
Serigala tua menggeser
tubuh, merangkak pelan. Batang hidungnya diarahkan ke sisa-sisa daging dan
tulang yang berserakan.
“Melihat irisan luka,
mencium bekas liur, serta bagian daging yang tersisa, pasti ini kelakuan
mereka! Ibumu tewas sebagai karya biadab bangsa singa!”
“Kenapa mereka membunuh Ibu? Bukannya di
tempat ini masih tersedia ratusan rusa? Tak kurang-kurang hamparan satwa yang siap
disantap!?”,tanya lirih serigala kecil.
“Dirimu masih terlalu muda
untuk mengerti. Ini hutan, Anakku!”
******
Hari, pekan, bulan, dan tahun.
Waktu pun berlari maju. Serigala kecil sudah beranjak dewasa. Berbarengan
dengan itu, otot-otot tubuhnya terus tumbuh, kuat dan membesar. Taring dan gigi
tampak bersinar, berkilatan teramat tajam. Tak kecuali sepak terjangnya nan
ganas, hari ke hari semakin tak terkendali, mengguncang seantero hutan.
Serigala yang dahulu pemalu itu, kini berubah jadi salah satu mahluk paling
mematikan yang pernah hadir dalam sejarah panjang satwa hutan. Sampai tiba di suatu malam, serigala tua memanggilnya,
mengajak berbincang-bincang.
“Anakku, kudengar, kau baru
saja memangsa serombongan rusa. Kuharap kali ini jumlahnya tak kurang dari
selusin!”
Baru jua kalimat berakhir,
belum sempurna serigala tua menutup mulut, tiba-tiba kegaduhan meletup. Anak
serigala melepas jerit keras, bermaksud mencakar malam yang teramat senyap.
Puas menuntaskan lolongannya, sambil memamerkan gigi-gigi yang berlumuran
darah, ia berucap,
“Sekumpulan rusa? Ayah
tidak sedang membanyol kan?”, anak serigala sesaat bersungut-sungut.
“Belantara serupa guru,
darinya aku selalu belajar. Hal terpenting yang ku pahami, bila bermimpi jadi legenda
pemangsa, wajiblah kiranya kita menaikkan derajat korban. Pemangsa sejati
adalah pemangsa yang sanggup mendaki. Pemangsa sejati tak akan berhenti mengejar
perkelahian yang berarti. Jadi salah besar bila sampai hari ini kau tetap saja
menyebut nama rusa. Petang tadi, tiga ekor banteng telah kupaksa menjemput ajal!”
“Menakjubkan! Tak sia-sia aku
memiliki keturunan sepertimu. Ucapanmu, bukanlah sekaranjang bualan, ia argumen
kuat penuh bukti. Dan bercecernya darah para korban adalah dalil shahih yang
tangguh.”
Pujian dihibahkan, anak serigala tak ragu
memamerkan raut kebanggaan.
“Namun Anakku, sebanyak
apa banteng yang kelak sanggup kau taklukan, semua itu tak banyak berarti.
Filosofi mu tentang legenda pemangsa tadi, belum akan jadi sempurna karenanya.”
Lanjutan kata yang terucap,
seketika menyulap wajah anak serigala. Mimik mukanya tersambar rasa kaget. Lalu
tanpa ragu ia pun bertanya.
“Apa maksud, Ayah? Lihatlah!
Anakmu sudah tumbuh menjadi seekor punggawa. Otot dan terjanganku telah pula diamalkan
sebagaimana mustinya. Bukankah lanjutan adi sejarah yang cemerlang dari bangsa
kita, jelas menjejak di ujung taringku ini!?”
Serigala tua tak langsung menanggapi.
Sambil menatap purnama, ia beranjak dari letak duduk.
“Coba kau hitung, berapa
jumlah serigala yang menerima kepemimpinan mu?”
“Tak perlu disangsikan.
Tanyakan ke seluruh serigala hutan, aku lah satu-satunya tuan mereka!”, pungkas
anak serigala dengan garis bibir yang congkak.
“Bagus! Itu berarti saat
berperang telah tiba!”
“Berperang?”
“Bodoh! Kau sendiri yang tadi
bilang! Pemangsa sejati adalah pemangsa yang sanggup mendaki. Lalu apa yang
mengganjal di kepalamu itu? Sampai-sampai kau tak ingat, hutang darah Ibu mu belum
pula terbayar! Dan apakah kau fikir, nenek moyang kita benar-benar
gilang-gemilang? tiada tertandingi? Begitu? Sama sekali tidak, Anakku!
Sepanjang bangsa singa belum lenyap, sepanjang itu pula serigala tak akan bisa
menjadi raja!”
“Oh, maafkan aku. Jika ini
soal dendam dan kekuasaan, lalu pesan apa yang hendak kau sampaikan?”, anak
serigala kembali menyahut.
“Perang bukanlah kisah
satu jaman. Tiap-tiap angkatan tak patah berperang. Sayangnya, sampai diriku
menua, bangsa ini belum jua meraih kemenangan. Sejak berabad-abad lampau, bangsa
singa adalah bangsa yang kuat. Angkatan jamanmu harus mengerti benar itu!”
“Kalau begitu kehebatan
dan keganasanku sama-sekali belum cukup?”
“Tepat! Kau dan
serdadu-serdadumu harus belajar dari pengalaman. Kemenangan tak seperti setangkai
bunga, yang dapat dipetik dengan sekali berkedip. Maka, sebelum genderang perang kembali ditabuh, kalian musti berguru!”
“Berguru?”
Sambil memamerkan wajah
bengis, serigala tua menyambut pertanyaan puteranya, membeberkan penjelasan.
“Mengalahkan bangsa singa tak
cukup mengandalkan otot dan taring. Menaklukan mereka tak bisa melalui
pertempuran tradisional. Paham dan cara lama itu, terbukti berulang
menjerumuskan kita dalam jurang kekalahan. Karnanya, kita wajib membekali diri
dengan pengetahuan baru. Untuk menang, kita musti menggunakan kelicikan, kebohongan,
ketamakan, kemunafikan, memadukannya dengan kekejian yang luar biasa.”, terang serigala
tua.
“Kelicikan, kebohongan,
ketamakan dan kemunafikan. Apa arti semua itu? Baru kali pertama aku
mendengarnya”, anak serigala tanpa malu menunjukkan tampang tolol.
“Aku pun tak begitu paham.
Justru karena itu, aku memintamu mencari tau dan berguru.”
“Kemana aku musti belajar?
Siapakah gerangan mahaguru penyimpan sebongkah kedigdayaan macam itu?”
Serigala tua mencoba
mengatur sikap. Sebentar ia mengayunkan kaki ke belakang. Sambil melesatkan
tatapan tajam, sekalilagi mulutnya menganga.
“Kudengar mahaguru itu
memiliki berjibun kebengisan nan akbar. Kebengisannya itu, sungguh tiada terbilang.
Berlipat-lipat lebih keji dari seluruh binatang hutan. Mereka bisa membinasakan
apa saja. Mereka demikian rakus, demikian menipu, demikian palsu, demikian
culas, demikian licik, demikian curang, demikian khianat, demikian tak tau
malu, demikian…..”
“Tak perlu diulang-ulang.
Cepat katakan siapa dia! Sebutkan nama binatang itu! Aku sangat ingin berguru
kepadanya!”,dibimbing rasa penasaran yang dalam, anak serigala memotong ucapan
ayahnya.
Serigala tua mendekat. Tak
lama berselang, ia berbisik ke telinga anaknya.
“Informasi ini sangat berharga,
Anakku. Pastikan kau dapat menjaga kerahasiaannya.”
Anak serigala mengangguk, sadar
benar akan maksud ayahnya.
“Anakku tercinta, kepada
siapa kita harus belajar perihal kekejian busuk nan menipu. Kepada siapa kita bisa
berguru tentang kelicikan, keculasan dan seluruh kebejatan yang paling
menjijikkan? Tak lain dan tak bukan….”, serigala tua kembali mengatur nafas.
“Kepada jenis tertentu dari
binatang bernama manusia! Mereka lah sang mahaguru!”
Raut muka anak serigala
tampak berbinar. Sejagad keyakinan melompat-lompat dalam benaknya.
“Anak Jantan ku. Tidak kah
kau pernah mendengar sebaris pepatah: “Bagaikan Manusia Berbulu Domba?!” Bahkan
seorang filsuf tersohor pun sempat berfatwa: “Serigala adalah manusia bagi
serigala yang lainnya”. Itulah titik tertinggi yang musti kita capai!”
*****
Gedung
Sekolah Dasar, pada tepian kawasan terpencil. Kumpulan bocah berseragam kumal, duduk
berbanjar di kursi tua nan lapuk. Bersama meja belajar yang rapuh, para belia berniat menuntut ilmu. Ruang kelas yang
dihuni memang terlihat begitu pengap. Temboknya retak, cat terkelupas disana-sini, begitu pula
gentingnya, bocor dimana-mana, tak henti meneteskan air hujan. Namun, semua
kekacauan yang berjibun, tak sedikt pun menyurutkan sejumput tekad, dari ibu
guru berparas ayu. Perempuan berambut ikal, terlukis memeluk keteguhan hati,
berkobar dalam semangat mengajar.
Jumat pagi, kala pelajaran
Etika Moral dimulai.
“Manusia
adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Tuhan Yang Maha Pengasih,
mengkaruniai manusia dengan akal. Dari akalnya, manusia dapat mengembangkan fikiran.
Hingga manusia sanggup memisahkan kebenaran dengan kebatilan. Tak sebatas itu,
manusia juga dianugerahi Tuhan dengan hati nurani, sifat kasih dan nilai-nilai
kemanusiaan. Anak-anak, semua itu lah yang membedakan manusia dengan binatang. Betul
apa tidak?”
Bocah
seisi ruangan kompak menimpali:
“Betul,
Ibu Guruuuuuuu. Manusia berbeda dengan binataaaaaang….”
Mendengar
jawab para bocah, Ibu Guru kontan tersenyum. Tak lama berselang ia letakkan
tubuhnya di balik meja. Tangan lembut perempuan yang terkenal shalih di
kampungnya tersebut, membuka laci kecil. Mengeluarkan amplop tebal berwarna
cokelat. Sejenak dalam hati ia bergumam:
“Murid-muridku,
kalian masih teramat belia untuk mengerti. Sedihnya, kalian pun tak lebih dari anak
petani miskin yang terbelakang. Sadarkah kalian? Kehidupan manusia adalah seganas-ganasnya
hutan yang pernah ada! Tak terkecuali dengan nasib ibuku, mati karna tak ada
biaya mengobati! Tak ada yang peduli, apalagi hendak bertanggung jawab!”
Usai
bergumam, jemari ibu guru membuka amplop cokelat. Berlembar rupiah berwarna
merah tampak tersusun begitu tebal. Senyum
sang pengajar kembali mengembang, menatap tumpukan pecahan seratus ribu rupiah.
Dana bantuan renovasi gedung sekolah dalam amplop cokelat, menggenapi laba bulanan
dari penjualan paket buku yang dipaksakan. Pencurian dan pemerasan tuntas sudah
dibagi-bagikan.
Dan
manusia jelas-jelas berbeda dengan binatang…..
(SELESAI)