Minggu, 31 Maret 2013

serigala



Hening tiba-tiba pecah di paruh malam. Lembut silir angin menguap, berganti lolong panjang mulut binatang. Seekor mahluk jantan berjingkat, meniup gaduh ke tiap sudut mata angin. Suara parau beraduk udara, tersembul keluar dari lubang  kerongkongan. Bunyi nya terdengar sungguh kasar, tajam dan gahar. Ranting-ranting tipis, lebat dedaunan, seolah dipaksa bergetar karnanya. Lolong  nan menghujam, kini bukan lagi dendang rutin di larut nan pekat. Malam ini, jerit serigala seumpama baris senandung perih yang digarami murka. Syahdan, dua hari telah lewat. Pengelanaan menyusur lebatnya belukar, tiba sudah di ujung cemasnya pencarian. Derap kaki serigala hutan, memungut jawab diantara rimbun ilalang. Di bibir jurang, seonggok tubuh terkapar, menyebar pilu beraroma nestapa. Tubuh yang tercabik, terpisah dalam potongan daging yang berserak. Sosok tergeletak tanpa nyawa, bersimbah darah, tiada lain, dialah bangkai Sang Betina tercinta.
“Kesini kau, Anakku!”
Perintah memekik, serigala cilik bergegas meninggalkan pohon jati. Berteman gerak yang kelewat hati-hati, ia ayunkan langkah.
“Jangan sedetik pun kau palingkan wajah. Lihatlah ini, dia Ibu mu!”
Keterkejutan seketika berarak, gundah menyembur, membuncah liar. Bangkai ibunda yang terkoyak, meredupkan sejumput nyali. Kesedihan pun tak kuasa lagi dibelenggu, serigala kecil segera berdiri di depan gerbang isak tangis. Tajam bola matanya perlahan sirna, tertangkap mulai mengembun.
“Jangan kau coba-coba meneteskan airmata!”
“Ijinkan aku bersedih atas kematian Ibu.”
Tuntas melafalkan ucapan, moncong serigala kecil bergeser, mengendus-endus serpihan bangkai ibunya.
“Tidak, Anakku! Kau tak akan pernah kuijinkan bersedih!”
Perintah sekalilagi meluncur, terdengar menghentak, bagai menombak telinga. Serigala kecil sontak menoleh. Dalam pelukan duka ia menatap raut muka sang ayah.
“Anakku, kita adalah bangsa serigala. Bangsa serigala tak serupa kumpulan domba. Sejarah bangsa ini adalah buku tebal tentang legenda pemangsa. Nenek moyangmu yang gilang-gemilang itu, menulis selangit kejayaan dengan darah dan taring! Bukan bersama tetes airmata atau beribu sedu-sedan! Anakku, camkan benar kata-kata Ayahmu ini: Bangsa pemburu, dimana pun ia berada, tak akan sudi mengenal kosakata airmata! Kau mengerti?”
Serigala kecil tersihir. Kalimat demi kalimat yang melesat dari bibir Ayahnya, terdengar laksana cambuk yang menghajar duka. Dalam sekejap rasa sedih serasa memudar. Gundah dan pilu sirna, melejit jauh ke tanah antah berantah. Sebagai gantinya, segunung amarah datang menggelegar. Benih angkara murka mekar, bergolak di ladang dendam dan pembalasan.
“Siapa gerangan  yang melakukan ini, Ayah?”
Serigala tua menggeser tubuh, merangkak pelan. Batang hidungnya diarahkan ke sisa-sisa daging dan tulang yang berserakan.
“Melihat irisan luka, mencium bekas liur, serta bagian daging yang tersisa, pasti ini kelakuan mereka! Ibumu tewas sebagai karya biadab bangsa singa!”
 “Kenapa mereka membunuh Ibu? Bukannya di tempat ini masih tersedia ratusan rusa? Tak kurang-kurang hamparan satwa yang siap disantap!?”,tanya lirih serigala kecil.
“Dirimu masih terlalu muda untuk mengerti. Ini hutan, Anakku!”

******

Hari, pekan, bulan, dan tahun. Waktu pun berlari maju. Serigala kecil sudah beranjak dewasa. Berbarengan dengan itu, otot-otot tubuhnya terus tumbuh, kuat dan membesar. Taring dan gigi tampak bersinar, berkilatan teramat tajam. Tak kecuali sepak terjangnya nan ganas, hari ke hari semakin tak terkendali, mengguncang seantero hutan. Serigala yang dahulu pemalu itu, kini berubah jadi salah satu mahluk paling mematikan yang pernah hadir dalam sejarah panjang satwa hutan.  Sampai tiba di suatu malam, serigala tua memanggilnya, mengajak berbincang-bincang.
“Anakku, kudengar, kau baru saja memangsa serombongan rusa. Kuharap kali ini jumlahnya tak kurang dari selusin!”
Baru jua kalimat berakhir, belum sempurna serigala tua menutup mulut, tiba-tiba kegaduhan meletup. Anak serigala melepas jerit keras, bermaksud mencakar malam yang teramat senyap. Puas menuntaskan lolongannya, sambil memamerkan gigi-gigi yang berlumuran darah, ia berucap,
“Sekumpulan rusa? Ayah tidak sedang membanyol kan?”, anak serigala sesaat bersungut-sungut.
“Belantara serupa guru, darinya aku selalu belajar. Hal terpenting yang ku pahami, bila bermimpi jadi legenda pemangsa, wajiblah kiranya kita menaikkan derajat korban. Pemangsa sejati adalah pemangsa yang sanggup mendaki. Pemangsa sejati tak akan berhenti mengejar perkelahian yang berarti. Jadi salah besar bila sampai hari ini kau tetap saja menyebut nama rusa. Petang tadi, tiga ekor banteng telah kupaksa menjemput ajal!”
“Menakjubkan! Tak sia-sia aku memiliki keturunan sepertimu. Ucapanmu, bukanlah sekaranjang bualan, ia argumen kuat penuh bukti. Dan bercecernya darah para korban adalah dalil shahih yang tangguh.”
 Pujian dihibahkan, anak serigala tak ragu memamerkan raut kebanggaan.
“Namun Anakku, sebanyak apa banteng yang kelak sanggup kau taklukan, semua itu tak banyak berarti. Filosofi mu tentang legenda pemangsa tadi, belum akan jadi sempurna karenanya.”
Lanjutan kata yang terucap, seketika menyulap wajah anak serigala. Mimik mukanya tersambar rasa kaget. Lalu tanpa ragu ia pun bertanya.
“Apa maksud, Ayah? Lihatlah! Anakmu sudah tumbuh menjadi seekor punggawa. Otot dan terjanganku telah pula diamalkan sebagaimana mustinya. Bukankah lanjutan adi sejarah yang cemerlang dari bangsa kita, jelas menjejak di ujung taringku ini!?”
Serigala tua tak langsung menanggapi. Sambil menatap purnama, ia beranjak dari letak duduk.
“Coba kau hitung, berapa jumlah serigala yang menerima kepemimpinan mu?”
“Tak perlu disangsikan. Tanyakan ke seluruh serigala hutan, aku lah satu-satunya tuan mereka!”, pungkas anak serigala dengan garis bibir yang congkak.
“Bagus! Itu berarti saat berperang telah tiba!”
“Berperang?”
“Bodoh! Kau sendiri yang tadi bilang! Pemangsa sejati adalah pemangsa yang sanggup mendaki. Lalu apa yang mengganjal di kepalamu itu? Sampai-sampai kau tak ingat, hutang darah Ibu mu belum pula terbayar! Dan apakah kau fikir, nenek moyang kita benar-benar gilang-gemilang? tiada tertandingi? Begitu? Sama sekali tidak, Anakku! Sepanjang bangsa singa belum lenyap, sepanjang itu pula serigala tak akan bisa menjadi raja!”
“Oh, maafkan aku. Jika ini soal dendam dan kekuasaan, lalu pesan apa yang hendak kau sampaikan?”, anak serigala kembali menyahut.
“Perang bukanlah kisah satu jaman. Tiap-tiap angkatan tak patah berperang. Sayangnya, sampai diriku menua, bangsa ini belum jua meraih kemenangan. Sejak berabad-abad lampau, bangsa singa adalah bangsa yang kuat. Angkatan jamanmu harus mengerti benar itu!”
“Kalau begitu kehebatan dan keganasanku sama-sekali belum cukup?”
“Tepat! Kau dan serdadu-serdadumu harus belajar dari pengalaman. Kemenangan tak seperti setangkai bunga, yang dapat dipetik dengan sekali berkedip. Maka, sebelum genderang  perang kembali ditabuh, kalian musti berguru!”
“Berguru?”
Sambil memamerkan wajah bengis, serigala tua menyambut pertanyaan puteranya,  membeberkan penjelasan.
“Mengalahkan bangsa singa tak cukup mengandalkan otot dan taring. Menaklukan mereka tak bisa melalui pertempuran tradisional. Paham dan cara lama itu, terbukti berulang menjerumuskan kita dalam jurang kekalahan. Karnanya, kita wajib membekali diri dengan pengetahuan baru. Untuk menang, kita musti menggunakan kelicikan, kebohongan, ketamakan, kemunafikan, memadukannya dengan kekejian yang luar biasa.”, terang serigala tua.
“Kelicikan, kebohongan, ketamakan dan kemunafikan. Apa arti semua itu? Baru kali pertama aku mendengarnya”, anak serigala tanpa malu menunjukkan tampang tolol.
“Aku pun tak begitu paham. Justru karena itu, aku memintamu mencari tau dan berguru.”
“Kemana aku musti belajar? Siapakah gerangan mahaguru penyimpan sebongkah kedigdayaan macam itu?”
Serigala tua mencoba mengatur sikap. Sebentar ia mengayunkan kaki ke belakang. Sambil melesatkan tatapan tajam, sekalilagi mulutnya menganga.
“Kudengar mahaguru itu memiliki berjibun kebengisan nan akbar. Kebengisannya itu, sungguh tiada terbilang. Berlipat-lipat lebih keji dari seluruh binatang hutan. Mereka bisa membinasakan apa saja. Mereka demikian rakus, demikian menipu, demikian palsu, demikian culas, demikian licik, demikian curang, demikian khianat, demikian tak tau malu, demikian…..”
“Tak perlu diulang-ulang. Cepat katakan siapa dia! Sebutkan nama binatang itu! Aku sangat ingin berguru kepadanya!”,dibimbing rasa penasaran yang dalam, anak serigala memotong ucapan ayahnya.
Serigala tua mendekat. Tak lama berselang, ia berbisik ke telinga anaknya.
“Informasi ini sangat berharga, Anakku. Pastikan kau dapat menjaga kerahasiaannya.”
Anak serigala mengangguk, sadar benar akan maksud ayahnya.
“Anakku tercinta, kepada siapa kita harus belajar perihal kekejian busuk nan menipu. Kepada siapa kita bisa berguru tentang kelicikan, keculasan dan seluruh kebejatan yang paling menjijikkan? Tak lain dan tak bukan….”, serigala tua kembali mengatur nafas.
“Kepada jenis tertentu dari binatang bernama manusia! Mereka lah sang mahaguru!”
Raut muka anak serigala tampak berbinar. Sejagad keyakinan melompat-lompat dalam benaknya.
“Anak Jantan ku. Tidak kah kau pernah mendengar sebaris pepatah: “Bagaikan Manusia Berbulu Domba?!” Bahkan seorang filsuf tersohor pun sempat berfatwa: “Serigala adalah manusia bagi serigala yang lainnya”. Itulah titik tertinggi yang musti kita capai!”

*****

            Gedung Sekolah Dasar, pada tepian kawasan terpencil. Kumpulan bocah berseragam kumal, duduk berbanjar di kursi tua nan lapuk. Bersama meja belajar yang rapuh,  para belia berniat menuntut ilmu. Ruang kelas yang dihuni memang terlihat begitu pengap. Temboknya  retak, cat terkelupas disana-sini, begitu pula gentingnya, bocor dimana-mana, tak henti meneteskan air hujan. Namun, semua kekacauan yang berjibun, tak sedikt pun menyurutkan sejumput tekad, dari ibu guru berparas ayu. Perempuan berambut ikal, terlukis memeluk keteguhan hati, berkobar dalam semangat mengajar.
Jumat pagi, kala pelajaran Etika Moral dimulai.
            “Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Tuhan Yang Maha Pengasih, mengkaruniai manusia dengan akal. Dari akalnya, manusia dapat mengembangkan fikiran. Hingga manusia sanggup memisahkan kebenaran dengan kebatilan. Tak sebatas itu, manusia juga dianugerahi Tuhan dengan hati nurani, sifat kasih dan nilai-nilai kemanusiaan. Anak-anak, semua itu lah yang membedakan manusia dengan binatang. Betul apa tidak?”
            Bocah seisi ruangan kompak menimpali:
            “Betul, Ibu Guruuuuuuu. Manusia berbeda dengan binataaaaaang….”
            Mendengar jawab para bocah, Ibu Guru kontan tersenyum. Tak lama berselang ia letakkan tubuhnya di balik meja. Tangan lembut perempuan yang terkenal shalih di kampungnya tersebut, membuka laci kecil. Mengeluarkan amplop tebal berwarna cokelat. Sejenak dalam hati ia bergumam:
            “Murid-muridku, kalian masih teramat belia untuk mengerti. Sedihnya, kalian pun tak lebih dari anak petani miskin yang terbelakang. Sadarkah kalian? Kehidupan manusia adalah seganas-ganasnya hutan yang pernah ada! Tak terkecuali dengan nasib ibuku, mati karna tak ada biaya mengobati! Tak ada yang peduli, apalagi hendak bertanggung jawab!”
            Usai bergumam, jemari ibu guru membuka amplop cokelat. Berlembar rupiah berwarna merah tampak  tersusun begitu tebal. Senyum sang pengajar kembali mengembang, menatap tumpukan pecahan seratus ribu rupiah. Dana bantuan renovasi gedung sekolah dalam amplop cokelat, menggenapi laba bulanan dari penjualan paket buku yang dipaksakan. Pencurian dan pemerasan tuntas sudah dibagi-bagikan.
            Dan manusia jelas-jelas berbeda dengan binatang…..

(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar