AIR MATA
TERAKHIR
Karya : Ary Wib
Semakin
banyaknya kesenjangan yang tercipta, semakin menumpuk dan menjamur kepedihan
yang menimpa negeri ini. Sudah saatnya untuk bangkit dan begerak. Kisah ini
merupakan latar peristiwa yang diangkat untuk berbelasungkawa atas
bencana-bencana yang terjadi belakangan ini. Banyak tragedi bencana yang
menimpa negeri ini. Yang sebenarnya bencana itu adalah setelah tertimpa bencana
itu, mereka yang sedang berduka akan bencana, bagaimana harus bertahan dan
berdiri untuk memperjuangkan kembali hidupnya, menata kembali kehidupan yang
tiba-tiba hancur tetimpa bencana. Dunia seolah-olah bertanya apa yang
menimpaku? Apa yang terjadi setelah itu? Akankah aku lestari seperti dulu lagi?.
Reportoar ini hanya menggambarkan beberapa hal yang mungkin kita lupa. Akibat
dari bencana yang menimpa, kisah yang ada setelah bencana terjadi, yang
merupakan kisah fiktif yang diangkat untuk kepentingan pertunjukan. Penulis
berharap penonton ataupun pembaca dapat mengambil pesan yang ada dalam teks
ini.
Panggung adalah puing-puing berserakan, akibat bencana yang
melanda, banjir meluluhlantahkan sebuah desa yang dulunya asri. Dulunya desa
tersebut banyak terdapat pepohonan yang rindang, dan udaranya sejuk, bahkan
mataharipun malu-malu menerangi desa tersebut. Puing-puing tesebut adalah
gambaran dari dampak bencana yang menimpa, beberapa reruntuhan pohon, rumah
dll. Reruntuhan tersebut menjadi
pemandangan instalasi kematian pandangan positif mengenai alam yang semakin
resah akan ulah manusia itu sendiri. Beberapa reruntuhan daun yang masih basah
jatuh, beberapa salju jatuh kemudian cahaya matahari menyoroti semua, gambaran kekeringan yang telah melanda
menjadi gambaran kesedihan dan duka yang berkepanjangan.
Aktor adalah visualisasi beberapa peristiwa yang akan terjadi
dipanggung, dilakukan dengan gerak tubuh yang merupakan teror konflik suatu
masyarakat dengan hati nuraninya sendiri.
Beberapa orang masuk gerak ritmis patah-patah gambaran kesakitan
akibat bencana yang melanda. Reruntuhan daun basah kembali jatuh, orang-orang
berusaha mengambil beberapa puing berserakan tersebut, tapi puing-puing itu
semakin banyak jatuh , akhirnya mereka lelah dan membuat komposisi, akan
melakukan tarian. Tarian tersebut merupakan ratapan dari orang – orang yang
telah dilanda bencana. Latar tarian tersebut adalah lagu “the last tears”
(Unsun) dibawakan secara bersama-sama oleh beberapa penyanyi dibelakang
panggung.
The Last Tears
Something out of me flows...
love so unrestrained flees.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
I tore down the wall,
armed well my own heart
banished grief and pain
And made fear depart...
I'm not scared of the places
where my heart hurts the most.
I'm not scared of the moments
My mind full of ghosts.
I'm not scared of the words,
that cut like a knife.
I'm not scared of dreams,
when it's hard to survive the night.
I hide from the world, my blurry eyes.
I don't reach out for help, I never ask why.
Kind God refuses to hear my requests.
Uncertainty chills the heart in my chest.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
Mereka terjatuh bersama puing-puing yang semakin menumpuk jatuh
menimpa mereka. Semakin banyak saat lagu akan berakhir, sehingga semua aktor
tertimbun reruntuhan puing-puing yang jatuh.
Dari
puing-puing tersebut mereka berkata....
Aku adalah
sakit dimana obatnya hanya kepedulian
Aku adalah
duka tak terhibur oleh kebijaksanaan
Aku adalah
mati saat hati sudah letih dari kisah yang sering terjadi
Aku adalah
harmoni yang tak kunjung datang ditelan musibah
Aku adalah air
mata akan habis menjadi lautan lara
Orang-orang panggung masuk membersihkan puing-puing yang
berserakan dan menumpuk. pemain yang terjatuh bangun dari jatuhnya merubah
perannya menjadi beberapa karakter diantaranya para politisi, kyai dan
selebriti, orang panggung memakaikan kostum yang mendukung karakternya, kostum
tersebut terbuat dari kertas-kertas daur ulang yang disulap menjadi jas dan
gaun. Di pasangkan kepada pemain, memberikan pernak-pernik handprop yang
mendukung karater tersebut. Musik rancak masuk menggambarkan kebaikan dibalik
ketidakikhlasan karena ada misi yang diinginkan beberapa aktor tersebut. Aktor
membuat sebuah komposisi sejajar membentuk tiga kelomok diantaranya ialah
politisi, kyai, dan selebriti.
Beberapa aktor masuk dengan memerankan karakter pengungsi dari
bencana melakukan tarian yang menggambarkan kepedihan, kebingungan dan ketidakpastian
jaminan hidupnya. Tarian ini bisa juga merupakan simbol dari lambatnya tindakan
aparatur negara untuk mengatasi korban bencana tersebut.
Musik semakin rancak para politisi berorasi di depan para
pengungsi itu, mereka menjelaskan beberapa penanggulangan bencana, mereka
membuat topeng di dalam topeng dirinya sendiri, mereka mengumbar omongan palsu,
mengumbar kemunafikan. Yang ujung-ujungnya meminta dukungan masyarakat agar
memilihnya di pemilu yang akan datang. Mereka membagi-bagikan barang-banrang kebutuhan
pengungsi dan beberapa uang, yang dibantu orang-orang panggung yang bertindak
sebagai asisten mereka.
Musik rancak berhenti berganti dengan musik yang menyayat, kyai bertausiah
di depan para pengungsi, kyai tersebut berbicara mengenai cobaan yang diberikan
oleh tuhan, meminta mereka untuk sabar. kyai juga memimpin para pengungsi untuk
berdoa, dan bersholawat bersama-sama. Orang-orang panggung masuk membawa
kamera, mic dan buku catatan seolah mereka adalah wartawan. Kyai itu memasang
posenya dengan baik seolah-olah kyai hanya mengejar popularitas. Kyai tersebut
memberikan sumbangan berupa uang dan perlengkapan sholat, para pengungsi
diingatkan agar tidak lupa dengan ibadah dan sering berdoa agar penderitaan
setelah bencana dapat segera terselesaikan. Dibalik ungkapan-ungkapan kyai
tersebut terbesit keinginan kyai untuk memuluskan jalannya mengejar popularitas
yang diidam-idamkan. Kyai tersebut juga mempromosikan sinetron terbarunya dan
film terbarunya, agar masyarakat dapat terhibur dengan menontonnya. Sontak para
pengungsi menjabat tangan kyai, kyai dengan wibawanya sambil bertasbih menerima
jabat tangan para pengungsi tersebut.
Musik menyayat berhenti langsung disambut musik dangdut yang
sedang populer sekarang beberapa aktor yang menjadi selebriti menyanyikan lagu
dangdut yang tengah populer sekarang. Orang-orang panggung membawakan selebriti
tersebut mic dan beberapa pernak pernik yang mendukung lagu dangdut tersebut.
Langsung para pengungsi berjoget diantara penyanyi dangdut tersebut, juga bisa
dimasukkan beberapa joget khas acara stasiun televisi yang terkenal. Aktor
politisi dan kyai berjoget di tempat masing-masing, nampak suasana saat itu
terhibur rasa duka dan lara pun hilang seketika itu pula. Tidak ada gambaran
kesedihan diraut wajah para pengungsi. Para wartawan yang diperankan oleh
orang-orang panggung mengambil gambar dan meliput fenomena tersebut.
Berakhirnya lagu dangdut tersebut musik rancak duka lara pengungsi
masuk meruang dan sangat menghentak, aktor selebriti, kyai dan politisi runtuh
dalam tubuh yang rapuh, visual dari tubuh yang diterpa kemunafikan sehingga
rapuh tak kuat termakan zaman yang semakin global. Tangisan para pengungsi
mengisi seluruh panggung. Mereka seolah – olah seperti anak kehilangan ibunya,
penderitaannya kembali.
Beberapa bantuan dari politisi dan kyai dihambur-hamburkan dimana
itu semua hanya barang tiruan yang terbuat dari kertas-kertas daur ulang.
Dihamburkan berserakan kembali sehingga menimbun diri pengungsi tersebut. Ini adalah
gambaran bahwa nurani mereka berkata, pengungsi ini tidak hanya butuh barang
tapi juga butuh tindakan yang jelas, mereka tak berdaya, lumpuh, bingung akan
kemana, akan mengadu kepada siapa. Tidak hanya butuh obrolan dan hiburan sesaat,
tapi tindakan yang jelas. Kemudian
mereka terjatuh. Cahaya berubah warna menjadi pekat gelap, dingin dan mencekam.
Musik sendu, kesakitan masuk mengisi permainan.
Beberapa orang panggung masuk membawa tv dan dvd yang siap
ditayangkan. tv dan dvd tersebut diletakkan pada tiga tempat, kanan-kiri
panggung dan tengah belakang panggung, kemudian
di putar bersama, dengan menekan tombol di remote yang dibawa orang panggung
tersebut. Tv tersebut menayangkan berita-berita beberapa politisi, kyai dan
artis yang direkam oleh media di acara gosip yang tesebar diacara stasiun
televisi swasta yang ada di negeri ini.
Para pengungsi yang terjatuh tersebut bangun dari reruntuhan dan
begerak kesakitan bergerak menuju samping
tv yang sedang menyala. Kemudian orang-orang panggung masuk memberikan
para pengungsi itu beberapa media cetak yang isinya mengenai berita para
politisi, kyai dan selebriti yang sedang mengunjungi dan membantu para korban
bencana. Sambil bergerak sakit para pengungsi itu membacakan berita yang ada di media cetak tersebut. Panggung
dipenuhi suara –suara kemunafikan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, para
pengungsi yang meminta bantuan dan para golongan atas yang memberi bantuan yang
sekedar mencari popularitas. Pengungsi yang malas hanya menunggu
bantuan-bantuan saja, sama-sama tidak menghasilkan satupun tindakan yang jelas
menangani permasalahan bencana tersebut, yang melanda negeri ini.
Orang-orang panggung masuk membersihkan puing-puing yang
berserakan, hanya tersisa beberapa reruntuhan bangunan dan pohon tumbang
beberapa saja. Tv dan para pengungsi masih ditempat masih dengan bacaan
berita-berita yang membuat telinga resah.sebenarnya masalah ini akan berakhir
atau akan terus tidak akan ada satu penyelesaian.
Para
pengungsi : kami tak butuh janji, kami butuh tindakan yang pasti. Barang-barang
ini untuk apa kalau hanya menunda lapar kami untuk sementara. Apa yang akan
kami lakukan selanjutnya?
Musik kesakitan masuk sejenis musik yang tidak mengenal harmonisasi, musik sakit yang
membuat orang muak, menghiasi permainan. Beberapa orang panggung masuk
melakukan tarian kematian pandangan dan hati nurani. Beberapa saat puing-puing
reruntuhan kemudian jatuh kembali.
Setelah tarian orang panggung selesai, Peran kyai, politisi dan selebriti di
depan panggung, satu cahaya panggung menerangi ketiga peran tersebut. Nampak penyesalan
diraut wajah mereka.
Politisi :
sebenarnya apa yang mereka mau? Dibantu kok masih saja terus meratap, ditolong
malah menodong?
Kyai :
sungguh terlalu, aku sudah berpesan untuk bersabar-sabar dan sabar...
sesungguhnya tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak mungkin hambanya
tidak mampu melaluinya dan mengatasinya!
Selebriti :
apa goyanganku kurang menghibur mereka, sehingga hiburan yang kami ciptakan ini
hanya berlangsung sesaat. Apa yang mereka inginkan? Apakah aku harus berada
disana setiap saat dan selalu menghibur mereka? Bisa-bisa copot pinggul ini
karena kebanyakan bergoyang.
Cahaya di tiga peran tersebut menghilang kembali kepada pengungsi
dan berita-berita di media. pengungsi-pengungsi itu masih saja kesakitan dan
beberapa puing-puing salju turun, kemudian bunga yang menggambarkan kematian
hati nurani yang rapuh karena zaman yang memanjakan manusia di dalam perut bumi
yang semakin kembung dan siap untuk meledak, bumi yang sudah tidak tahan akan
tingkah laku manusia dan manusia sendiri semakin munafik disetiap zaman yang
berbeda. Manusia manja dan munafik
digambarkan oleh para pengungsi tersebut, dan manusia munafik dan gila
popularitas/ materi digambarkan tiga peran yang menjadi politisi, kyai dan
selebriti.
Para
pengungsi : kami tak butuh janji, kami butuh tindakan yang pasti. Barang-barang
ini untuk apa kalau hanya menunda lapar kami untuk sementara. Apa yang akan
kami lakukan selanjutnya?
Setelah beberapa gerakan gambaran kesakitan dilakukan para
pengungsi, mereka semua statis (diam mematung) musik berhenti. Suasana hening.
Kemudian masuk secara perlahan seperti air mengalir pelan orang-orang panggung
membuat barisan paduan suara, disela-sela antara tiga tempat pengungsi dengan
tv. Gambaran suasana ini merupakan kesedihan yang memuncak yang diakibatkan
oleh manusianya sendiri. Manusia yang semakin menjadi anak-anak, hanya mampu
menyalahkan, bertindak pun masih saja ada suatu faktor yang melatar belakangi
niat baiknya. Korban bencana alam yang manja hanya menunggu bantuan dari
pemerintah, dan pemerintah yang gila
popularitas semata. Melakukan sesuatu tidak dari hati nuraninya. Kematian hati
nurani dan belas kasihan melanda manusia di zaman sekarang. Bunga –bunga
berjatuhan semakin banyak Musik ”the last tears” (unsun ) dinyanyikan bersama
dan mengakhiri pertunjukan.
The Last Tears
Something out of me flows...
love so unrestrained flees.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
I tore down the wall,
armed well my own heart
banished grief and pain
And made fear depart...
I'm not scared of the places
where my heart hurts the most.
I'm not scared of the moments
My mind full of ghosts.
I'm not scared of the words,
that cut like a knife.
I'm not scared of dreams,
when it's hard to survive the night.
I hide from the world, my blurry eyes.
I don't reach out for help, I never ask why.
Kind God refuses to hear my requests.
Uncertainty chills the heart in my chest.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
Kraksaan, 27 januari 2014
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar