Selasa, 28 Januari 2014

The Last Tears



AIR MATA TERAKHIR
Karya : Ary Wib

Semakin banyaknya kesenjangan yang tercipta, semakin menumpuk dan menjamur kepedihan yang menimpa negeri ini. Sudah saatnya untuk bangkit dan begerak. Kisah ini merupakan latar peristiwa yang diangkat untuk berbelasungkawa atas bencana-bencana yang terjadi belakangan ini. Banyak tragedi bencana yang menimpa negeri ini. Yang sebenarnya bencana itu adalah setelah tertimpa bencana itu, mereka yang sedang berduka akan bencana, bagaimana harus bertahan dan berdiri untuk memperjuangkan kembali hidupnya, menata kembali kehidupan yang tiba-tiba hancur tetimpa bencana. Dunia seolah-olah bertanya apa yang menimpaku? Apa yang terjadi setelah itu? Akankah aku lestari seperti dulu lagi?. Reportoar ini hanya menggambarkan beberapa hal yang mungkin kita lupa. Akibat dari bencana yang menimpa, kisah yang ada setelah bencana terjadi, yang merupakan kisah fiktif yang diangkat untuk kepentingan pertunjukan. Penulis berharap penonton ataupun pembaca dapat mengambil pesan yang ada dalam teks ini.
                                             
Panggung adalah puing-puing berserakan, akibat bencana yang melanda, banjir meluluhlantahkan sebuah desa yang dulunya asri. Dulunya desa tersebut banyak terdapat pepohonan yang rindang, dan udaranya sejuk, bahkan mataharipun malu-malu menerangi desa tersebut. Puing-puing tesebut adalah gambaran dari dampak bencana yang menimpa, beberapa reruntuhan pohon, rumah dll.  Reruntuhan tersebut menjadi pemandangan instalasi kematian pandangan positif mengenai alam yang semakin resah akan ulah manusia itu sendiri. Beberapa reruntuhan daun yang masih basah jatuh, beberapa salju jatuh kemudian cahaya matahari menyoroti semua,  gambaran kekeringan yang telah melanda menjadi gambaran kesedihan dan duka yang berkepanjangan.

Aktor adalah visualisasi beberapa peristiwa yang akan terjadi dipanggung, dilakukan dengan gerak tubuh yang merupakan teror konflik suatu masyarakat dengan hati nuraninya sendiri.

Beberapa orang masuk gerak ritmis patah-patah gambaran kesakitan akibat bencana yang melanda. Reruntuhan daun basah kembali jatuh, orang-orang berusaha mengambil beberapa puing berserakan tersebut, tapi puing-puing itu semakin banyak jatuh , akhirnya mereka lelah dan membuat komposisi, akan melakukan tarian. Tarian tersebut merupakan ratapan dari orang – orang yang telah dilanda bencana. Latar tarian tersebut adalah lagu “the last tears” (Unsun) dibawakan secara bersama-sama oleh beberapa penyanyi dibelakang panggung.

The Last Tears
Something out of me flows...
love so unrestrained flees.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
I tore down the wall,
armed well my own heart
banished grief and pain
And made fear depart...
I'm not scared of the places
where my heart hurts the most.
I'm not scared of the moments
My mind full of ghosts.
I'm not scared of the words,
that cut like a knife.
I'm not scared of dreams,
when it's hard to survive the night.
I hide from the world, my blurry eyes.
I don't reach out for help, I never ask why.
Kind God refuses to hear my requests.
Uncertainty chills the heart in my chest.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...

Mereka terjatuh bersama puing-puing yang semakin menumpuk jatuh menimpa mereka. Semakin banyak saat lagu akan berakhir, sehingga semua aktor tertimbun reruntuhan puing-puing yang jatuh.

Dari puing-puing tersebut mereka berkata....
Aku adalah sakit dimana obatnya hanya kepedulian
Aku adalah duka tak terhibur oleh kebijaksanaan
Aku adalah mati saat hati sudah letih dari kisah yang sering terjadi
Aku adalah harmoni yang tak kunjung datang ditelan musibah
Aku adalah air mata akan habis menjadi lautan lara

Orang-orang panggung masuk membersihkan puing-puing yang berserakan dan menumpuk. pemain yang terjatuh bangun dari jatuhnya merubah perannya menjadi beberapa karakter diantaranya para politisi, kyai dan selebriti, orang panggung memakaikan kostum yang mendukung karakternya, kostum tersebut terbuat dari kertas-kertas daur ulang yang disulap menjadi jas dan gaun. Di pasangkan kepada pemain, memberikan pernak-pernik handprop yang mendukung karater tersebut. Musik rancak masuk menggambarkan kebaikan dibalik ketidakikhlasan karena ada misi yang diinginkan beberapa aktor tersebut. Aktor membuat sebuah komposisi sejajar membentuk tiga kelomok diantaranya ialah politisi, kyai, dan selebriti.

Beberapa aktor masuk dengan memerankan karakter pengungsi dari bencana melakukan tarian yang menggambarkan kepedihan, kebingungan dan ketidakpastian jaminan hidupnya. Tarian ini bisa juga merupakan simbol dari lambatnya tindakan aparatur negara untuk mengatasi korban bencana tersebut.

Musik semakin rancak para politisi berorasi di depan para pengungsi itu, mereka menjelaskan beberapa penanggulangan bencana, mereka membuat topeng di dalam topeng dirinya sendiri, mereka mengumbar omongan palsu, mengumbar kemunafikan. Yang ujung-ujungnya meminta dukungan masyarakat agar memilihnya di pemilu yang akan datang. Mereka membagi-bagikan barang-banrang kebutuhan pengungsi dan beberapa uang, yang dibantu orang-orang panggung yang bertindak sebagai asisten mereka.

Musik rancak berhenti berganti dengan musik yang menyayat, kyai bertausiah di depan para pengungsi, kyai tersebut berbicara mengenai cobaan yang diberikan oleh tuhan, meminta mereka untuk sabar. kyai juga memimpin para pengungsi untuk berdoa, dan bersholawat bersama-sama. Orang-orang panggung masuk membawa kamera, mic dan buku catatan seolah mereka adalah wartawan. Kyai itu memasang posenya dengan baik seolah-olah kyai hanya mengejar popularitas. Kyai tersebut memberikan sumbangan berupa uang dan perlengkapan sholat, para pengungsi diingatkan agar tidak lupa dengan ibadah dan sering berdoa agar penderitaan setelah bencana dapat segera terselesaikan. Dibalik ungkapan-ungkapan kyai tersebut terbesit keinginan kyai untuk memuluskan jalannya mengejar popularitas yang diidam-idamkan. Kyai tersebut juga mempromosikan sinetron terbarunya dan film terbarunya, agar masyarakat dapat terhibur dengan menontonnya. Sontak para pengungsi menjabat tangan kyai, kyai dengan wibawanya sambil bertasbih menerima jabat tangan para pengungsi tersebut.

Musik menyayat berhenti langsung disambut musik dangdut yang sedang populer sekarang beberapa aktor yang menjadi selebriti menyanyikan lagu dangdut yang tengah populer sekarang. Orang-orang panggung membawakan selebriti tersebut mic dan beberapa pernak pernik yang mendukung lagu dangdut tersebut. Langsung para pengungsi berjoget diantara penyanyi dangdut tersebut, juga bisa dimasukkan beberapa joget khas acara stasiun televisi yang terkenal. Aktor politisi dan kyai berjoget di tempat masing-masing, nampak suasana saat itu terhibur rasa duka dan lara pun hilang seketika itu pula. Tidak ada gambaran kesedihan diraut wajah para pengungsi. Para wartawan yang diperankan oleh orang-orang panggung mengambil gambar dan meliput fenomena tersebut.

Berakhirnya lagu dangdut tersebut musik rancak duka lara pengungsi masuk meruang dan sangat menghentak, aktor selebriti, kyai dan politisi runtuh dalam tubuh yang rapuh, visual dari tubuh yang diterpa kemunafikan sehingga rapuh tak kuat termakan zaman yang semakin global. Tangisan para pengungsi mengisi seluruh panggung. Mereka seolah – olah seperti anak kehilangan ibunya, penderitaannya kembali.

Beberapa bantuan dari politisi dan kyai dihambur-hamburkan dimana itu semua hanya barang tiruan yang terbuat dari kertas-kertas daur ulang. Dihamburkan berserakan kembali sehingga menimbun diri pengungsi tersebut. Ini adalah gambaran bahwa nurani mereka berkata, pengungsi ini tidak hanya butuh barang tapi juga butuh tindakan yang jelas, mereka tak berdaya, lumpuh, bingung akan kemana, akan mengadu kepada siapa. Tidak hanya butuh obrolan dan hiburan sesaat, tapi tindakan yang  jelas. Kemudian mereka terjatuh. Cahaya berubah warna menjadi pekat gelap, dingin dan mencekam. Musik sendu, kesakitan masuk mengisi permainan.

Beberapa orang panggung masuk membawa tv dan dvd yang siap ditayangkan. tv dan dvd tersebut diletakkan pada tiga tempat, kanan-kiri panggung dan tengah belakang panggung,  kemudian di putar bersama, dengan menekan tombol di remote yang dibawa orang panggung tersebut. Tv tersebut menayangkan berita-berita beberapa politisi, kyai dan artis yang direkam oleh media di acara gosip yang tesebar diacara stasiun televisi swasta yang ada di negeri ini. 

Para pengungsi yang terjatuh tersebut bangun dari reruntuhan dan begerak kesakitan bergerak menuju samping  tv yang sedang menyala. Kemudian orang-orang panggung masuk memberikan para pengungsi itu beberapa media cetak yang isinya mengenai berita para politisi, kyai dan selebriti yang sedang mengunjungi dan membantu para korban bencana. Sambil bergerak sakit para pengungsi itu membacakan berita yang  ada di media cetak tersebut. Panggung dipenuhi suara –suara kemunafikan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, para pengungsi yang meminta bantuan dan para golongan atas yang memberi bantuan yang sekedar mencari popularitas. Pengungsi yang malas hanya menunggu bantuan-bantuan saja, sama-sama tidak menghasilkan satupun tindakan yang jelas menangani permasalahan bencana tersebut, yang melanda negeri ini.

Orang-orang panggung masuk membersihkan puing-puing yang berserakan, hanya tersisa beberapa reruntuhan bangunan dan pohon tumbang beberapa saja. Tv dan para pengungsi masih ditempat masih dengan bacaan berita-berita yang membuat telinga resah.sebenarnya masalah ini akan berakhir atau akan terus tidak akan ada satu penyelesaian.

Para pengungsi : kami tak butuh janji, kami butuh tindakan yang pasti. Barang-barang ini untuk apa kalau hanya menunda lapar kami untuk sementara. Apa yang akan kami lakukan selanjutnya?

Musik kesakitan masuk sejenis musik yang  tidak mengenal harmonisasi, musik sakit yang membuat orang muak, menghiasi permainan. Beberapa orang panggung masuk melakukan tarian kematian pandangan dan hati nurani. Beberapa saat puing-puing reruntuhan kemudian jatuh  kembali. Setelah tarian orang panggung selesai, Peran kyai, politisi dan selebriti di depan panggung, satu cahaya panggung menerangi ketiga peran tersebut. Nampak penyesalan diraut wajah mereka.

Politisi : sebenarnya apa yang mereka mau? Dibantu kok masih saja terus meratap, ditolong malah menodong?
Kyai : sungguh terlalu, aku sudah berpesan untuk bersabar-sabar dan sabar... sesungguhnya tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak mungkin hambanya tidak mampu melaluinya dan mengatasinya!
Selebriti : apa goyanganku kurang menghibur mereka, sehingga hiburan yang kami ciptakan ini hanya berlangsung sesaat. Apa yang mereka inginkan? Apakah aku harus berada disana setiap saat dan selalu menghibur mereka? Bisa-bisa copot pinggul ini karena kebanyakan bergoyang.

Cahaya di tiga peran tersebut menghilang kembali kepada pengungsi dan berita-berita di media. pengungsi-pengungsi itu masih saja kesakitan dan beberapa puing-puing salju turun, kemudian bunga yang menggambarkan kematian hati nurani yang rapuh karena zaman yang memanjakan manusia di dalam perut bumi yang semakin kembung dan siap untuk meledak, bumi yang sudah tidak tahan akan tingkah laku manusia dan manusia sendiri semakin munafik disetiap zaman yang berbeda. Manusia manja  dan munafik digambarkan oleh para pengungsi tersebut, dan manusia munafik dan gila popularitas/ materi digambarkan tiga peran yang menjadi politisi, kyai dan selebriti.

Para pengungsi : kami tak butuh janji, kami butuh tindakan yang pasti. Barang-barang ini untuk apa kalau hanya menunda lapar kami untuk sementara. Apa yang akan kami lakukan selanjutnya?

Setelah beberapa gerakan gambaran kesakitan dilakukan para pengungsi, mereka semua statis (diam mematung) musik berhenti. Suasana hening. Kemudian masuk secara perlahan seperti air mengalir pelan orang-orang panggung membuat barisan paduan suara, disela-sela antara tiga tempat pengungsi dengan tv. Gambaran suasana ini merupakan kesedihan yang memuncak yang diakibatkan oleh manusianya sendiri. Manusia yang semakin menjadi anak-anak, hanya mampu menyalahkan, bertindak pun masih saja ada suatu faktor yang melatar belakangi niat baiknya. Korban bencana alam yang manja hanya menunggu bantuan dari pemerintah, dan pemerintah yang  gila popularitas semata. Melakukan sesuatu tidak dari hati nuraninya. Kematian hati nurani dan belas kasihan melanda manusia di zaman sekarang. Bunga –bunga berjatuhan semakin banyak Musik ”the last tears” (unsun ) dinyanyikan bersama dan mengakhiri pertunjukan.
The Last Tears
Something out of me flows...
love so unrestrained flees.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...
I tore down the wall,
armed well my own heart
banished grief and pain
And made fear depart...
I'm not scared of the places
where my heart hurts the most.
I'm not scared of the moments
My mind full of ghosts.
I'm not scared of the words,
that cut like a knife.
I'm not scared of dreams,
when it's hard to survive the night.
I hide from the world, my blurry eyes.
I don't reach out for help, I never ask why.
Kind God refuses to hear my requests.
Uncertainty chills the heart in my chest.
Slowly becoming less
my tears turn into seas...

Kraksaan, 27 januari 2014
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar