Jumat, 19 September 2014

Tuan Tanah


TUAN TANAH
oleh : Ary Wib
Ketika seorang tuan tanah, juga bisa disebut petani sukses dengan sawah dimana-mana berada dalam kondisi yang teramat krisis, ketika semua yang ia miliki hilang sudah. Sawah dan kebun berhektar-hektar sekarang hanya tinggal satu luas tanah tak sampai sehektar itupun sudah menjadi hunian keluarga petani itu. Keluarga sang tuan tanah adalah keluarga yang harmonis anak-anaknya selalu hidup bahagia dan bercukupan tapi berbeda dengan sekarang. Keluarga itu sekarang tak ubahnya seperti kapal pecah, setiap hari suara – suara ramai terdengar dari ruang tengah keluarga tersebut. Nampaknya kenangan-kenangan kejayaan tuan tanah tak mampu membuat keadaan keluarganya menjadi harmonis kembali. Sang tuan tanah tak lagi memiliki apa-apa lagi, tak ada lagi sawah yang bisa disewakan, tak ada lagi tanah yang bisa ditanami, tak ada lagi tanah yang bisa dijual kecuali ia tak takut kehilangan rumahnya, yang didalamnya banyak sekali menyimpan kenangan sejak ia muda sampai sekarang dengan anak yang semua terlihat sukses. Anaknya lima, empat sudah bekerja semua dan satu anak yang masih ingin kuliah. Drama ini terjadi satu babak, dimana sang tuan tanah beserta istrinya tengah ingin merayakan ulang tahun perkawinannya, bersama anak-anaknya, kebetulan keempat anaknya sedang libur bekerja. Tapi apa yang terjadi sang tuan tanah sudah tidak memiliki apa-apa lagi selain beras  satu gentong dan uang  hanya beberapa lembar saja, maklum ia sudah tak bekerja lagi, selama ini dia mendapat uang dari hasil menyewakan sepetak sisa tanahnya untuk dijadikan warung nasi oleh tetangganya, juga sekali-kali dia menanam sayur dibelakang rumahnya tuk sekedar makan setiap hari. Sang tuan tanah amat terpukul dengan keadaannya sekarang, semenjak krisis moneter, dia mengalami goncangan ekonomi, ditambah lagi sejak diberlakukannya pembatasan kepemilikan tanah oleh masyarakat, dia semakin saja menurun penghasilannya setiap tahunnya, adegan dimulai dengan kericuhan dikala pagi, sang istri tengah menyiapkan pesta yang akan dilaksanakan malam nanti, sedangkan sang tuan tanah tengah sibuk membaca koran, mengkritik beberapa berita yang ada dikoran. Sedikitpun tak menghiraukan istrinya yang tengah berkicau di dapur, walau terdengar suara-suara panci, wajan dilemparkan sang tuan tanah masih saja asyik membaca berita.
Tuan tanah : sahud  (pria tua umur sekitar 55, menderita penyakit stroke ringan dan asam urat, pemarah, kadang-kadang semaunya sendiri, kepada anak-anaknya sangat sayang)
Istri : tutik (penyayang, sabar tapi cerewet jika sudah tidak memiliki uang, kepada anak-anaknya sangat perhatian)
Anak 1 : yudi (keras kepala, semaunya sendiri dan pemalas)
Anak 2 : bowo (ambisius, keras kepala, perasa / suka ngambek)
Anak 3 : Lista (sangat individualis / maunya sendiri, manja, senang bekerja)
Anak 4 : ika (pendiam, pemalu dan sabar)
Anak 5 : vita  (pemalas, manja, senang sekali bersantai-santai dari pada bekerja)







TUAN TANAH
Drama Satu Babak
Pagi hari saat semuanya tengah mempersiapkan diri untuk bekerja. Tuan tanah sibuk membaca koran dan mengoceh sendiri melihat berita-berita yang menurutnya mesti dikritisi, sang istri pun sedang sibuk didapur juga mengoceh karena bahan-bahan makanan didapur sudah habis, parahnya sang tuan tanah dan istri tak lagi memiliki tabungan. Hari itu adalah ulang tahun pernikahan mereka, keinginan istri mengadakan selamatan kecil-kecilan bersama anak-anaknya, tapi keadaan yang tidak memungkinkan. Musik menghantarkan kepada suasana yang nyaman terkombinasi dengan suara –suara di pagi hari. Istri membuang dan melempar-lempar peralatan dapur, sahud tak mempedulikan dia malah membacakan berita dengan suara sangat kencang. Tiba – tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah.
Dari dalam panggung
Tutik : (berbicara sendiri tapi seperti menyindir dari dapur, sambil membanting-banting perlatan dapur) ahhh selalu saja seperti ini, lagi-lagi persediaan habis, dan aku lagi, aku lagi yang harus menanggung semua ini. Kapan keadaan berubah, coba dulu dia mendengarkan apa yang aku inginkan pasti semuanya tidak seperti ini, ohhh nasib – nasib, lagi – lagi aku harus mengemis-ngemis minta pertolongan orang, anak ada, tapi tak satupun yang peduli. Padahal hari ini kan hari spesial, entah mengapa laki-laki ini tak punya hati sama sekali. Aduhhh – aduhhh....
Sahud : (sambil menikmati kopi dan membaca koran) wah – wah lagi –lagi muncul isu BBM akan naik, wah pasti harga beras pasti naik,  belum lagi harga barang yang dibanting-banting itu (menyindir istrinya yang sedang ngomel-ngomel di dapur dengan gaya bicara yang dibuat-buat)
Tutik : (memukul-mukul alat-alat dapur makin keras)
Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor-gedor oleh seseorang.
Sahud : sudah biasa, (bicara ke luar rumah) sebentar lagi radio ini makin rusak dan tak bisa berceloteh lagi.
Sahud kembali membaca koran dengan kerasnya, sang istri masih saja mengomel di dapur, beberapa saat kemudian tutik sang istri menuju sahud yang sedang bersantai-santai membaca koran.
Tutik : tak cukup bapak hanya duduk-duduk membaca koran, dan bersantai-santai seperti ini, sekarang ini kan ulang tahun perkawinan kita, setidaknya bapak mencari pinjaman uang ketetangga atau kesaudara, sudah tahu kita akan merayakannya, sebentar lagi anak-anak kita datang, apa yang akan mereka katakan, jika saya belum saja memasakkan sesuatu untuk mereka.
Sahud : sudah (seperti menyindir) selalu ini saja yang kau katakan setiap saat, pinjam uang, pinjam uang, pinjam uang lagi, kau tahu pantang bagiku sahud si tuan tanah yang terkenal sebagai petani sukses untuk mengemis-ngemis uang ke tetangga.
Tutik : apa? (menegaskan) sukses dari mana pak, sahud sekarang tak lebih seperti benda klasik yang cukup menjadi pajangan saja, (seperti menyanyi)sahud yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu di puja sekarang jadi kenangan, (tertawa) tuan tanah yang kalah dengan keangkuhannya sendiri.
Sahud : ahhh... kau ini istri macam apa! Tak sedikitpun bangga memiliki suami sepertiku. Aku sampai sekarang masih dikenal dengan petani sukses.
Tutik : itu lagi, itu lagi, sudah pak. Sahud yang sekarang hanya pria renta yang penyakitan, bahkan untuk bangun dari tempat tidur di kala pagi, masih menunggu sosok perempuan yang sabar membopong bangkit dari tempat tidur.
Sahud : aku masih sahud yang perkasa, sahud yang menawan, bahkan banyak perempuan dan janda-janda masih mengidolakanku (batuk-batuk) .
Tutik : sudah –sudah pak, itu kalau ngebantah saja, dari tadi bapak berbicara tanpa henti, tuh nafasnya sudah habis, biar kuambilkan minum.
Sahud : ahhh tak usah, (batuk-batuk) aku masih muda kebal dari penyakit, badanku gagah.
Tutik : tertawa... pergi kedapur mengambilkan minum.
Tutik membawakan segelas air untuk sahud
Sahud : (meminum air yang dibawakan istrinya)
Tutik : jika bapak tidak mau meminjam uang ketetangga, biar aku saja yang pinjam, dijaman yang sulit seperti ini hendaklah kita menyimpan gengsi kita, sudah tahu susah masih saja bersikukuh seperti itu.
Sahud : terserah kau saja.
Tutik pergi keluar untuk meminjam uang kepada tetangganya, sahud melanjutkan membaca koran.
Sahud : memang perempuan, ada-ada saja yang diinginkan, perayaan perkawinan, haahh... dia sudah lupa bahwa sudah tua begini masih saja ingin merayakan ulang tahun perkawinan, memangnya saya ini mesin atm yang berjalan apa?
Sahud meletakkan korannya, meminum kopi yang telah disediakan oleh istrinya.
Vita anak terakhir sahud datang menghampiri sahud, vita baru pulang dari sekolah.
Vita : bapak, tadi disekolah ada sosialisasi penerimaan mahasiswa baru, pak vita ingin kuliah di universitas yang besar. Mungkin biayanya cukup mahal, jadi vita ngomong sekarang biar bapak menyiapkan semua kebutuhan untuk kuliah vita nanti.
Sahud : iya gampang semua sudah bapak atur.
Vita : tapi jika seandainya vita tidak lolos seleksi masuknya, bapak mau kan mengusahakan vita masuk lewat jalur belakang, nyogok gitu pak. Vita nggak mau kalau harus kuliah di kampus-kampus kecil dan tak terkenal.
Sahud : Apa... (kaget) kamu ini belum juga usaha sudah menyerah dulu. Mulai sekarang kamu mesti belajar. Lagi pula bapak paling anti dengan yang namanya sogok – menyogok itu. Pantang bagi bapak si petani sukses juga sebagai tuan tanah yang kaya, untuk melestarikan budaya tidak baik seperti itu.
Vita : bapak kan tahu sendiri, jika vita itu bukan siswa terbaik di kelas, peringkat vita juga peringkat paling akhir. Bagaimana jika vita tidak bisa lolos ujian itu?
Sahud : kamu itu ngeyel... belajar, belajar dan belajar, tak usah banyak protes.
Anak –anak sahud sudah mulai berdatangan, mereka semua berkumpul untuk merayakan hari pernikahan bapak dan ibunya. Tutik istri sahud belum juga datang.
Keempak anak sahud : assalamualaikum
Sahud : walaikum salam
Yudi : bapak ibu dimana?
Bowo : iya pak ibu kemana?
Lista : saya sudah lapar ini pak.
Ika : kira – kira ibu akan memasak apa ya? Apa ibu sudah memasak pak?
Sahud : kalian ini, baru datang sudah tanya makanan, bapak ini loh tanya, apa sudah makan belum ?
Yudi : (tertawa) iya –iya bapak sudah makan? (berbicara layaknya menyindir)
Sahud : belum makan nasi bapak, kalau makan omelan ibu sudah sejak pagi tadi.
Ika : memang ibu ngomel-ngomel kenapa pak?
Sahud : ada saja, begitu itu kalau masa remaja tak pernah indah, bawaannya pengen mesrah-mesrahan terus dengan bapak.
Semua anak-anak sahud masih sibuk dengan handphone mereka masing-masing.
Yudi : pak bagaimana dengan calon istri yang dulu pernah aku kenalkan kepada bapak, saya kan sudah cukup umur untuk membina rumah tangga.
Sahud : iya.
Yudi : terus
Sahud : iya kamu segera merencanakan hari pernikahan kalian.
Yudi : tidak hanya cukup merencanakan saja pak, saya butuh uang pak, ini semua masih tanggung jawab bapak kan?
Sahud : iya
Yudi : iya, iya , iya terus pak. Tanah warisan yang bapak janjikan bagaimana? Kapan saya bisa mendapatkannya.
Sahud : sabar
Yudi : pak, bapak ini bagaimana? Apa jangan –jangan bapak sudah lupa dengan janji bapak itu. Atau barang kali bapak sudah menjualnya dan menikmati hasil penjualannya sendiri?
Sahud : heh... jaga bicaramu, semua sudah kurencanakan dengan baik. Semua anak-anakku dapat bagiannya. Yang kalian perlu pahami adalah kalian mesti sabar.
Bowo : pak sabar bagaimana lagi, saya juga butuh uang tambahan pak, kemarin saya dapat kabar jika kuliah saya yang S2 akan dilaksanakan bulan depan. Saya butuh biaya untuk itu semua.
Lista : begitupun saya pak, saya diterima sebagai akounting di perusahaan kota, tapi saya mesti bayar dulu untuk mulai bekerja disana. Jumlahnya lumayan banyak pak.
Ika : kalau saya tidak akan meminta uang kepada bapak, tapi saya minta ijin saja untuk meminta salah satu sawah bapak untuk saya jadikan uji coba bibit baru yang baru ditemukan oleh kampus saya. Karena kampus saya tidak memiliki  lahan yang cukup jadi mahasiswanya diminta untuk mencari tempat penelitian sendiri.
Vita : lalu kuliah saya bagaimana?
Sahud : kalian semua tak terasa sudah sukses semua, bapak akan mencukupi semua kebutuhan kalian. Tapi bapak minta, beri waktu bapak.
Yudi : sampai kapan pak, apa bapak rela melihat anak bapak ini batal menikah,
Bowo : kalau urusan menikah bisa kapan saja, tapi saya akan kuliah, begitu pun si vita. Pak ingat pendidikan itu penting.
Yudi : halahh.. kamu itu ada maunya, untuk apa kuliah tinggi-tinggi, pendidikan sekarang itu sama saja, mau s1, s2 atau s3, semuanya sama. Tak lebih dari barang dagangan yang di perjual belikan. Untuk apa kuliah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya tetap saja jadi pengangguran.
Bowo : apa yang kamu katakan. Buktinya sekarang kamu lihat baru bulan lalu aku lulus dari strata 1, aku sudah bisa bekerja di perusahaan.
Yudi : iya perusahaan yang mau bangkrut karena karyawannya banyak yang korupsi.
Bowo : dari pada kamu hanya lulusan SMA, buat apa lulusan SMA.
Yudi ; buktinya saya mampu berdagang juga sukses dengan usaha saya itu.
Bowo : kalau memang sukses kenapa urusan menikah saja masih minta kepada bapak, aku curiga calon istrimu itu matree, sehingga kamu harus meminta dan memaksa –maksa warisan kepada bapak.
Yudi : apa yang kamu katakan. (yudi memukul bowo, dan perkelahianpun terjadi)
Yudi dan bowo berkelahi, saudara-saudaranya hanya melihatnya, sahud bingung merelai mereka, sampai-sampai sahud terkena pukul dan jatuh tersungkur kelantai.
Sahud : (terjatuh kelantai) sudah-sudah (berbicara sambil menahan sakit dipinggangnya) bapak mengerti kebutuhan kalian,(kepada yudi dan bowo) yudi – bowo bantuk bapak beranjak dari sini. (dikursi) bapak sudah menyiapkan semua untuk kalian, yang perlu kalian pahami, kalian harus sabar, semua itu butuh proses.
Lista : dari tadi bapak bilang sabar-sabar. Apa jangan-jangan bapak ini sudah tak memiliki apa-apa untuk kita semua?
Ika : iya jangan-jangan bapak sudah menjual semua tanah bapak. Saya pernah mendengar dari tetangga sebelah, kalau bapak sering bertengkar dengan ibu dikala pagi. Apa bapak akan menikah lagi? Saya curiga kepada bapak yang tidak lagi romantis kepada ibu?
Sahud : (sambil memegang dada menahan sesak karena perkataan anaknya) kurang ajar kamu. Seburuk-buruknya bapak, tak pernah terlintas sedikitpun untuk  bapak menikah lagi. Aku memang dikenal sebagai tuan tanah yang banyak di gandrungi perempuan –perempuan cantik dulu kala masih muda, jika kamu lihat sekarang, bapak sudah tua, sudah tak punya gairah lagi untuk menikah.
Vita : lalu apa yang bapak pertimbangkan, kok kita masih diminta untuk bersabar terus, pak bulan depan vita juga harus sudah mendaftarkan diri di universitas. Kapan bapak menyediakan semua kebutuhan vita.
Sahud : astagfirullah , kalian ini kepalanya terbuat dari apa, semua itu butuh proses. Mengenai tanah bapak masih ada dan banyak, memang bapak tak bekerja, tapi anak buah bapak masih ada untuk menggarap tanah yang bapak miliki.
Yudi : lalu apa yang mesti dipertimbangkan lagi, bapak tidak senang jika melihat kami bahagia.
Sahud : seharusnya kalian yang membahagiakan bapak. Kalian yang harus membalas budi bapak yang telah membesarkan dan menyekolahkan kalian sampai bisa sukses seperti ini. Sejak kalian kecil dulu, bapak selalu memenuhi kebutuhan kalian, tidakkah kalian ingin sekali saja untuk yang terakhir kalinya sebelum bapak mati, kalian membahagiakan bapak.
Bowo : apa dengan keberadaan kami disini tidak membuat bapak bahagia, saya hanya meminta sebagian uang bapak yang katanya banyak itu untuk membantu biaya pendidikan saya pak.
Yudi : lalu biaya perkawinan saya apa akan menguras semua harta bapak? Tidak kan, bapak ini aneh, semakin tua semakin pelit saja.
Vita : iya pak, bapak harus melakukan sesuatu, beri kami kepastian. Saya dan kakak-kakak tidak mau menunggu janji-janji.
Lista : apa bapak rela melihat saya anak bapak menganggur, dan hanya bisa berdiam diri di rumah. Malu pak,, apak kata bu lek dan bu de nanti. “anak sahud yang pendidikannya tinggi malah jadi pengangguran”.
Ika : iya pak, ika juga butuh kepastian, ini tugas kampus, ika hanya ingin meminjam salah satu sawah bapak saja.
Bowo : yah kalau bapak tidak mau menuruti permintaan kami, saya akan mengadu kepada bu de dan kakek. Biar semua saudara tahu, bahwa bapak sekarang sudah miskin nggak punya apa-apa lagi.
Sahud : (berteriak) sudahhhhhhh.... kalian ini anak-anak tidak tahu sopan santun. (kembali memegang dadanya yang tiba-tiba sesak dan berusaha berjalan kedepan tengah) seumur hidup bapak, tak pernah mengemis-ngemis bantuan kepada saudara-saudara bapak. Bapak adalah orang yang berusaha mandiri. Bapak bangun keluarga ini dengan keringat bapak sendiri. Tapi apa nyatanya sekarang. Aku melihat anak-anak bapak semua kurang ajar kepadaku, hanya warisan-warisan yang kalian tanyakan. Pernahkah kalian bertanya tentang kesehatan bapak?
Yudi : saya sudah tahu jika bapak sakit, tapi bapak tidak tahu dan tak mau tahu kalau saya akan menikah dan butuh uang untuk mempersiapkannya.
Bowo :saya pun tahu bapak sakit, tapi bapak tidak mau tahu tentang sekolah saya, saya salah satu mahasiswa yang diminta untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi pak.
Lista : saya tahu bapak terkena stroke dan asam urat, tapi bapak tidak tahu rasanya jika saya tidak punya pekerjaan dan menganggur. Saya tidak bisa bekerja kalau tidak ada uang sogokan untuk perusahaan yang saya inginkan itu pak.
Vita : saya yang paling sering di rumah, jangan ditanyakan lagi, apakah saya tidak peduli dengan kesehatan bapak, tapi bapak tidak pernah peduli dengan sekolah vita. Bahkan melihat rapor vita saja bapak tidak pernah.
Ika : memang saya yang paling jarang dirumah, tapi apa pernah bapak menanyakan kabar saya melalui telfon? Adanya saya yang menelfon bapak, dan menyakan kabar bapak.
Sahud : kalian ini benar-benar (menahan sakit) oh tuhan, mengapa anak-anak hamba seperti ini. (jatuh tersungkur di lantai pingsan)
Sahud pingsan, semua anak kebingungan dan saling menyalahkan,hari perayaan ulang tahun pernikahan berubah menjadi tegang dan penyakit sahut bertambah parah, dengan membawa banyak makanan di nampan besar istri sahud tutik, terkejut melihat sahud telah tergeletak dilantai.
Tutik : astagfirullah (tidak terasa menjatuhkan makananan yang dia bawa) (kepada anak-anaknya) apa yang kalian lakukan kepada bapak kalian sendiri? (mencoba membangunkan sahud) pak bangun pak...
Sahud : (bangun, dengan suara parau dia berbicara kepada anak-anaknya)  bapak minta kepada kalian untuk yang terakhir kalinya, kalian bersabar. Bapak akan mengusahakan semua yang kalian minta. (kembali pingsan)
Tutik : (kepada anak-anaknya) apa yang kalian minta kepada bapak kalian?
Yudi : kami minta bapak menyediakan kepeluan kita, termasuk kebutuhan untuk pernikahanku bu.
Vita : iya bu, tadi vita minta pada bapak untuk mempersiapkan biaya perkuliahan vita nanti.
Tutik : kalian memang benar-benar tak tahu diuntung, sudah tahu bapak kalian sakit seperti ini. Ibu beri tahu. Bapak kalian sudah tidak punya apa-apa lagi, hartanya ludes untuk biaya pendidikan kalian. Hanya saja bapak kalian tidak mau membebani pikiran kalian karena melihat kenyataan yang terjadi sekarang. Bapakmu buat makan sehari-hari saja susah. Belum lagi untuk biaya sekolahmu vita yang semuanya sekarang sudah serba mahal. Bapak dan ibu sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan bapak dan ibu, ibu mesti meminja uang kepada bu de dan bu lek kalian. Kenapa kalian tidak memikirkan dulu sebelum berbicara kepada bapakmu?. Perlu kalian ketahui juga petani sekarang tak seperti dulu. Jaman semakin susah, harga pupuk melonjak, banyak penyakit yang menyerang karena dampak cuaca yang tak menentu. Petani harus memiliki modal besar untuk kembali bertani, sedangkan bapakmu, sekali punya modal besar masih bimbang dengan biaya pendidikan kalian, juga biaya hidup sehari-hari kita. Maksud ibu merayakan hari pernikahan ini, supaya kita berkumpul, bersenang-senang, saling tukar pikiran, kalian kan sudah dewasa, setidaknya bisa membantu kesulitan dan kebutuhan keluarga.
Bowo : maafkan kami bu
Tutik : (kepada suaminya sahud) pak bangun... bangun... (menangis) pak anak-anak kita sudah menyesali perbuatannya .. bangun pak... (kepada anak-anaknya) cepat panggil ambulans, kita bawa bapak kerumah sakit.
selesai
Kraksaan, 6 september 2014   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar